ANUGERAH JURNALISTIK ADINEGORO 2024

PostJakarta
0

Sumber Poto : Wikipedia 

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kembali menggelar lomba karya jurnalistik dengan

hadiah terbesar di Indonesia, yakni ANUGERAH JURNALISTIK ADINEGORO 2024.
Lomba tahunan sejak 1974 ini memperebutkan hadiah ratusan juta rupiah untuk lima juara
kategori utama dan dua pemenang penghargaan khusus.
"Anugerah Adinegoro adalah ajang penghargaan jurnalistik tertinggi di Indonesia. Pemenang
Adinegoro mencerminkan karya jurnalistik nomor satu," ujar Ketua Umum PWI Pusat Hendry
Ch Bangun di Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024.
Terpisah dari HPN
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024 digelar terpisah
dari Hari Pers nasional (HPN) yang diselenggarakan setiap 9 Februari. Menurut Hendry Ch
Bangun, penyelenggaraan terpisah dari HPN, bertujuan menonjolkan karya jurnalistik terbaik
di tengah disrupsi yang terus berlangsung.
"Anugerah Adinegoro 2024 memang diadakan terpisah dengan HPN untuk lebih
menghidupkan spirit jurnalistik Adinegoro, tidak hanya di kalangan wartawan muda, tapi juga
masyarakat luas," kata Hendry Ch Bangun.
Untuk wartawan Indonesia dan Pers Kampus
ANUGERAH JURNALISTIK ADINEGORO 2024 terbuka untuk semua wartawan Indonesia
yang menerbitkan karyanya di media massa Indonesia pada kurun waktu 1 Januari 2024 sampai
dengan 31 Desember 2024.
Jadi, Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024 akan memperlombakan lima kriteria karya
jurnalistik utama, yaitu:
1. Karya Jurnalistik Media Cetak
2. Karya Jurnalistik Media Daring/Siber
3. Karya Jurnalistik Media Video
4. Karya Jurnalistik Media Audio
5. Karya Jurnalistik Foto
Bahkan pada tahun ini, untuk pertama kali Anugerah Jurnalistik Adinegoro mengajak pers
kampus di Indonesia untuk meraih Penghargaan Khusus. Penghargaan ini untuk menyambut
gairah jurnalisme di kampus-kampus dan mendorong minat kaum milenial serta Generasi Z
terhadap jurnalisme dan kepedulian terhadap kehidupan di sekitarnya.
Pemenang masing-masing kategori akan mendapat Piala Adinegoro dan penghargaan dalam
bentuk lainnya.
PWI Pusat juga untuk pertama kalinya mengundang karya dari jurnalisme masyarakat (citizen
journalism) melalui unggahan di media sosial. Dua kategori itu memperebutkan Penghargaan
Khusus dan hadiah uang Rp25 juta.

"Agar gaung event Anugerah Adinegoro lebih bunyi dan tetap update mengikuti tren, PWI juga
memberikan penghargaan khusus untuk pers kampus dan jurnalisme warga," ujar Hendry Ch
Bangun.
Tema Anugerah Jurnalistik Adinegoro adalah Pers dan Demokrasi, sedangkan untuk pers
kampus dan jurnalisme warga adalah Gen Z Peduli Jadi Warga Dunia.
Peserta bisa mengirimkan karyanya mulai 1 Agustus hingga 31 Desember 2024 di
https://s.id/ADINEGORO2024. Pengumuman pemenang akan dilaksanakan pada 15 Januari
2025.
Kriteria Lomba
Karya peserta harus berupa karya jurnalistik mendalam (indepth news) yang memenuhi kriteria
“Investigasi, Kolaborasi, dan Inovasi," yang menitikberatkan pada karya jurnalistik investigatif
yang inovatif dan kolaboratif.
Karya Jurnalistik Investigasi Kolaborasi Inovasi merujuk pada proyek jurnalistik yang
melibatkan penyelidikan mendalam tentang sebuah isu atau topik, dilakukan secara kolaboratif
oleh berbagai pihak, dan memanfaatkan inovasi dalam metodologi, teknologi, atau cara
penyajian.
Karya ini bisa menggabungkan upaya dari beberapa jurnalis, outlet media, dan kadang-kadang
organisasi nonprofit atau akademisi untuk mengungkap fakta yang kompleks atau tersembunyi
yang memiliki dampak sosial signifikan.
Inovasi dapat berupa penggunaan alat data canggih, platform interaktif untuk menampilkan
informasi, atau teknik penceritaan baru yang meningkatkan pengalaman audiens dan
pemahaman terhadap topik yang diselidiki.
Adapun karya jurnalistik pers kampus/mahasiswa lebih mengutamakan kepedulian Generasi Z
menjadi warga dunia. Hal ini sejalan dengan spirit Adinegoro yang awal kariernya dari kampus
STOVIA, kemudian melanglang dunia untuk menceritakan satu semangat bahwa orang
Indonesia bisa setara dengan warga dunia.
Tentang Adinegoro
Adinegoro (14 Agustus 1904 – 8 Januari 1967) sampai dengan akhir tahun 1990-an masih
mengisi pemikiran mahasiswa di Indonesia, khususnya yang menempa ilmu
komunikasi/jurnalistik. Bukunya yang berjudul Falsafah Ratu Dunia (cetakan pertama Balai
Pustaka, 1949), serta Publisistik dan Jurnalistik (cetakan pertama Gunung Agung, Jakarta,
1961) menjadi bacaan wajib.
Sayangnya, baik Falsafah Ratu Dunia maupun Publisistik dan Jurnalistik terasa tergerus
orientasi zaman. Buku-buku Adinegoro hilang dari peredaran kampus, apalagi publik, dan
tergantikan literatur baru dari penulis dalam negeri. Namun, buku-buku karya terjemahan asing
semakin mendominasi.
Padahal, pria bernama lahir Djamaluddin gelar Maradjo Sutan melalui novel yang ditulisnya
pada 1928, Asmara Jaya dan Darah Muda, serta Melawat ke Barat (1930) sudah berekspresi
mendahului zamannya. Kala itu ia sudah menggugah pentingnya memberi peran kepada anak
muda dalam tatanan budaya sekaligus potensi membangun negara dan bangsa.
Ia agaknya ingin menggugah pentingnya kebebasan berekspresi bagi kalangan muda untuk
kemudian memerdekakan negerinya. Hingga akhir hayatnya, Adinegoro menulis 25 buku.

dengan berbagai genre, antara lain novel, atlas, ensiklopedia, dan buku teks maupun referensi
(text book & reference).
Dalam Falsafah Ratu Dunia, Adinegoro banyak menekankan pentingnya pers senantiasa dekat
dengan publiknya. “Yang terpenting untuk bentukan anggapan umum ialah pertalian rohani
antara pers dan masyarakat,” catatnya di halaman 31 buku itu. Jauh sebelum Internet
ditemukan, konsep media siber atau multimedia massa dimanfaatkan, dan media jejaring sosial
berseliweran, Adinegoro sudah menekankan pentingnya hubungan pers dan publiknya dalam
membentuk anggapan umum (opini publik/public opinion).
Bahkan, jauh sebelum adanya organisasi massa atau gerombolan orang menyerbu kantor
perusahaan pers lantaran jengkel atas pemberitaannya, Adinegoro pun sudah menorehkan
catatan dalam Falsafah Ratu Dunia: “Pers dilahirkan dan dibesarkan oleh masyarakat,
dibesarkan, tetapi juga bisa dirubuhkan oleh masyarakat.”
Ia juga mengibaratkan hubungan pers dan masyarakat, serta pemerintah. “Bulan diibaratkan
seperti pers dan bumi sebagai masyarakat, sedang pemerintah adalah ibarat matahari yang
mempengaruhi sepenuhnya pers dan masyarakat itu.”
Dengan kata lain, Adinegoro jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa pemerintah yang gagal
mempengaruhi kehidupan pers dan masyarakat, gagal pula fungsi kepemerintahannya. Dalam
posisi inilah, wartawan dituntut lebih mengetahui kewajibannya.
“Wartawan harus mengetahui bahwa kebaikan bagi satu golongan atau partai atau perkumpulan
dalam masyarakat. Di sini terletak salah satu kewajiban bagi wartawan, pandai mengenali
perbedaan antara kepentingan seseorang, dan kepentingan umum,” demikian Adinegoro.
Adinegoro termasuk salah seorang bidan kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di
kota Solo, Jawa Tengah, pada 9 Februari 1946. Ia juga terlibat ketika didirikannya Persatoean
Djoernalis Indonesia (Persatuan Jurnalis Indonesia) atau Perdi yang didirikan di Solo
(Surakarta) pada 23 Desember 1933. Selain itu, Adinegoro menjadi anggota tim notulis
Kongres Bahasa Indonesia pertama (I) di Solo, Jawa Tengah, pada 25-28 Juni 1938.
Notulensi kongres tersebut di poin kelima (V) mencatat: ”Setelah mendengar preadvis Tuan
Adinegoro tentang Bahasa Indonesia di dalam persuratkabaran, maka sepanjang pendapat
Kongres sudah waktunya kaum wartawan berdaya upaya mencari jalan-jalan untuk
memperbaiki bahasa di dalam persuratkabaran, karena itu berharap supaya Perdi bermufakat
tentang hal itu dengan anggota-anggotanya dan komisi yang akan dibentuk oleh kongres yang
baru bersama-sama dengan Hoofdbestuur (kantor) Perdi.”
Notulensi yang kemudian menjadi catatan sejarah resmi di Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) dan Perpustakaan Nasional RI itu membuktikan bahwa Bahasa Indonesia sejak awal
melibatkan tokoh pers, terutama Adi Negoro (Adinegoro).
Adinegoro pun memulai kegiatan jurnalistiknya pada 1920-an dari lingkungan kampus, School
tot Opleiding van Irlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Tinggi Dokter
Bumiputra, Batavia (kini Jakarta).
Adinegoro sebagai anak zaman kolonial banyak menulis telaahnya yang memandang ke masa
depan (futuristis) mengenai semangat kebangsaan, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi atau
kesejahteraan rakyat. Bahkan, ia sering menuliskan gagasan mengenai demokratisasi atau
pendemokrasian sebagai proses melibatkan akses kekuasaan politik lebih merata kepada rakyat
untuk mencapai kesejahteraannya yang dimulai dari berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia
kemahasiswaan di kampusnya.

Adinegoro mengibaratkan jika seseorang ingin mendapatkan buah segar dan terbaik jangan
membeli di pasar, namun petiklah di kebun yang tanamannya disemai, dipupuk, dan dirawat
petani dengan penuh perhatian. Oleh karena itu, ia pun menilai kader profesi terdidik dan
berdedikasi dapat “dipetik” dari kampus. Kampus ibarat kebun yang menciptakan kader
profesional.
“Suatu universitas dalam kehidupannya mempunyai dua tugas, pertama mengajarkan ilmu
fakultasnya kepada mahasiswanya masing-masing, kedua membentuk dan memperluas dan
memajukan ilmunya di dalam bidang fakultasnya masing-masing,” catat Adinegoro dalam
buku Publisistik & Jurnalistik terbitan Gunung Agung, Jakarta, 1961.
Ia pun menyarankan mahasiswa yang menekuni berbagai bidang keilmuan turut mempelajari
dan menerapkan ilmu kewartawanan untuk memudahkan mereka dalam menyampaikan
gagasannya secara terstruktur.
Adinegoro bukan sekadar menyarankan “Darah Muda” – sebutan untuk generasi muda penerus
bangsa sebagaimana judul novelnya terbitan Balai Pustaka Jakarta pada 1927 – untuk
menekuni berbagai bidang keilmuan. Oleh karena, ia telah menjalaninya. Selepas
“membelokkan” nasibnya dari sekolah kedokteran bumiputra (STOVIA) Jakarta ke sekolah
jurnalistik di Berlin, Adinegoro juga menekuni kartografi atau ilmu pembuatan atlas (peta
bumi). Sejarah Indonesia mencatat namanya sebagai pembuat atlas Indonesia dan ensiklopedia,
serta bola dunia (globe) pertama di negeri ini. Bahkan, ia merinci peta kepulauan Indonesia
dengan mengubah sejumlah nama lebih nasionalis, seperti Celebes menjadi Sulawesi, Borneo
menjadi Kalimantan, dan Buitenzorg menjadi Bogor. Pergaulannya pun luas baik di kalangan
diplomat asing maupun “orang-orang hubungan masyarakat” atau public relations
internasional berlatar belakang wartawan.
Berbagai catatan penting inilah yang antara lain menginspirasi Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) sejak 1974 menyelenggarakan Anugerah Jurnalistik Adinegoro sebagai pencapaian
tertinggi bagi wartawan Indonesia menuangkan karya jurnalistik terbaiknya.
Tentang Anugerah Jurnalistik Adinegoro
Lomba memperebutkan Anugerah Jurnalistik Pembangunan Adinegoro dimulai pada 1974
yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jakarta Raya (PWI Jaya).
Pada 1994 penyelenggaraan lomba karya jurnalistik ini dialihkan kepada Pengurus Pusat
Persatuan Wartawan Indonesia (PP PWI) atau disebut pula PWI Pusat, dan menjadi rangkaian
kegiatan Hari Pers Nasional. Adapun untuk Lomba Karya Jurnalistik PWI Jaya mengabadikan
nama Anugerah Mohammad Husni Thamrin.
Lomba Karya Jurnalistik Anugerah Adinegoro pada awalnya dikhususkan untuk karya tulis
Bidang Pembangunan. Karya tulis yang dilombakan untuk wartawan anggota PWI adalah
tulisan dalam kurun waktu satu tahun. Pemenangnya mendapat anugerah berupa Trofi
Adinegoro, piagam, dan hadiah uang. Trofi Adinegoro merupakan penghargaan tertinggi karya
jurnalistik. Pemenangnya hanya satu orang dan dicantumkan pula judul tulisan, media cetak
yang memuat, dan tanggal penerbitannya.
Pada 1997, selain Lomba Karya Tulis Anugerah Adinegoro juga diselenggarakan Lomba
Karya Tulis Anugerah Zulharmans untuk bidang Film, Musik, dan Pariwisata. Kedua anugerah
tersebut sempat terhenti penyelenggaraannya selama tiga tahun, yakni pada 2006-2008, karena
karya tulis bidang pembangunan sangat sedikit, di samping faktor lainnya.

Selanjutnya, nama lomba pun menjadi Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang dimulai kembali
pada 2009. Namun, lomba karya jurnalistik tertinggi tersebut bukan untuk bidang
pembangunan lagi, melainkan tema kemanusiaan dan tema demokrasi. Dengan tema yang
sama, Anugerah Jurnalistik Adinegoro juga dilombakan untuk karya foto jurnalistik dan karya
tulis tajuk rencana media massa.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro diberikan untuk tulisan dan reportase jurnalistik wartawan
Indonesia yang bermutu tinggi. Anugerah Jurnalistik Adinegoro bertujuan untuk memajukan
profesionalisme pers/media massa pada umumnya, dan pada khususnya penulisan dan
reportase berita di Indonesia yang dihormati setinggi-tingginya prinsip-prinsip jurnalisme
seperti; kejujuran, ketepatan, dan nilai-nilai jurnalistik lainnya.
Peserta Anugerah Jurnalistik Adinegoro dipilih dan diteliti dari tulisan-tulisan yang diterbitkan
atau disiarkan oleh media cetak serta media online di Indonesia dalam tahun kalender untuk
periode 1 Januari hingga 31 Desember.
PWI Pusat akan menggelar malam gala Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2024 pada 15 Januari
2025 di Jakarta untuk meneruskan spirit pengabdian jurnalisme Adinegoro yang jujur pada diri
dan profesi. Spirit pengabdian jurnalisme inilah yang menjadi puncak pencapaian prestasi
tertinggi bagi wartawan Indonesia yang meraih Anugerah Jurnalistik Adinegoro yang ditandai
dengan pemberian trofi khusus bergengsi, sertifikat juara, dan hadiah uang hingga ratusan juta
rupiah.
Adapun untuk pers kampus atau pers mahasiswa akan mendapat hadiah trofi khusus, sertifikat
juara, dan uang senilai Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) untuk satu pemenang utama.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)