Puisi Mingguan disajikan sebagai alternatif baca sastra dalam belantika bahasa ungkap rasa.
Untuk kali pertama postjakarta mengetengahkan sajian dengan harapan bahwa pembaca dapat menyisihkan waktu kala sejenak untuk membuka rasa dalam membaca dan menelaah sebuah ungkapan rasa dari seorang pengarang puisi.
Sebagai awal persembahan redaksi postjakarta.com melirik beberapa karangan lawas dari seorang pengarang puisi Dasuri Asman yang nyaris berhenti menulis puisi. Semoga sajian Puisi Mingguan ini bisa menjadi spirit baru bagi penulis maupun para pembaca untuk memulai menuangkan karya bidang penulisan sastra …..Selamat membaca.
PENANTIAN
Bulan diatas itu tertawa Rumput menari mengejek seolah Mencibir bibir bintang
Kakiku menendang batu sesaat
Jalanku tertunduk Mataku meredup Hatiku tertusuk
Jiwaku pilu terasa
Dewiku mengapa keawan kau Bulan bukankah Sudah kukerahkan seribu lilin dihatiku Hanya untuk hatimu
Semangmu sudah diawan Tinggi bintang harapan
Tak senang bermantu orang bawahan
Yang diinjak lagi terbuang
Laila, ini kupanggilmu kini Khais-mu Iaila, Khais-mu Yang selalu bersama mayapada
Dibawah sinar rembulan menanti jatuhnya
Laila dambaanku dimana kau ada Ini aku, kunanti kau sampai matahari
Meredupkan cahayanya.
(Jakarta Jan-1986)
KEMANA
Lembayung menari disaat mentari berangkat tidur Terasa angin kesiuran membawa seberkas kekecewaan Biarlah kubiarkan tak terpikir apa yang harus kulaku Jalan menuju kesana sangat lengang
Sama sekali tak ada benturan
Ombak bergulung setinggi kekecewaan Rambat-merambat ia hantam kakiku lekas
Rasa sejuk terasa ada dimimpi
Oh pantai selatan bawalah aku kesana
Pelebur dosa yang telah engkau ciptakan
O….Ratu
Tampakan dirimu untuk pertama bagiku
Tampakkan wajah kebimbanganmu.
(Jakarta ,Maret-1986 )
JAKARTA DI OTAKNYA
Bajingan kau disaat angin menyebar kesudut-sudut Membawa harapan besar
Mawar-mawar muda serempak datangi jakarta walau uang pinjam tetangga Perjaka-jejaka menyebar ketengah kota Karena takut dilihat bulan, yang selalu ngadu pada sawah dan ladang
Jakarta uang berhamburan
Kedudukan dan kehormatan
Itulah angan-angan mereka
Sampai di Jakarta mereka terlunta-lunta Ia susuri jalan aspal warna hitam Dipandangi oleh mereka langit kelabu
Bak muntahkan hujan kemelaratan
Sang mawar sudah tak nampak lagi mawarnya Transaksi bisnis lawan jenis didapatnya Pagar betis rebah mahkota telah terjaja
Dompet-dompet indah mulai menggoda Mata perjaka liar bagai serigala
Jari lincahpun lengkapi kemahiran
Jakarta yarg kaya mulai iringi mereka
Jalan simalakama terbentang menerimanya.
(Jakarta maret-1986)
TAPAK — TAPAK
Itu terjal sekali bukit
Surya redup mengambang sebentar tenggelam
Mengambang cahaya bulan dirumput kering-kerontang
Haripun berangkat malam
Lima puluh tapak telanjang langkah gontai tergambar
Sayup-sayup terdengar gemerisik ilalang Sepanjang malam
Lima puluh tapak kaki berjalan Lima puluh tangan erat memegang senapan
Puluhan do’a serempak Melahirkan ikrar
Sampai ditempat tujuan Serempak
Menyelinap Menyerang
Menerjang
Bersama harapan ditangan ada kemenangan.
Jakarta, Agust-1986
JASAD JASAD
cinta satu-satu ditelan kelicikan rebah satu-satu ditelan kehausan rebah Satu satu ditelan kemurkaan rebah
Satu-satu ditelan kebuasan rebah
Satu-satu rebah bersama hitam penutup kepala Tetapi senyumnya tak pernah punah
Jasad-jasad pembela yang berharga
Dikubur satu lubang
Jasad-jasad kusuma Dilempar bagai tak berguna
Tetapi jiwanya tak pernah terkubur
Ia tetap tegar walau petir menyambar puncaknya.
(Untuk pahlawanku yang di eksekusi) Jakarta ,Agust-1986.
OPOSISI
Mawar itu berwarna merah Semerah bibir ibunda di surga Dulu warna kelabu dimiliki bibir ibunda
Lantaran sejarah cuma mengantar berangkat kesurga
Rangkai kata keluar dari sela bibir nan merah Mengantar harapan disaat nanti hari senja Diatas kepala matahari lebar tersenyum
Lihat semangat di kulit jangat
Bergelincir manusia tertampung dibelah tangannya
Minta perlindungan Minta kedamaian Minta hak azasi
Dan minta segala yang memakmurkan
Ia hampir menangis disaat tangannya lekar capai Ia tatap bulan dengan mata redup penuh makian
Angin kesiuran membawa makna berkepanjangan
Ia ungkapkan kata dengan kata
Dan tepuk tangan dari orang yang ditangannya.
(Buat Cory Corozon Aguino)
Jakarta, Sept-1986.
RINDU
Sekuat-kuat tekanlah, jangan ragu Keluarkan pelurumu kedada musuh
Niscaya itu bulan ditargantu Adukan pada bintang,
“Tidak cuma kau bercahaya
Lihat tanganku bulan kukepal
Dari dulu kumau Ini
air yang bersumber di tubuhku
Kerontang habis lewat mataku Segumpal demi segumpal berlomba
Darah keluar dari tuburku
Wahai….
Dimana kekecewaan itu akan datarg Dimanakah kesengsaraan itu akan datang Bintarg…
Oleh lima lancipmu, tunjukanlah
Lihat tanganku bulan kukepal,
Jakarta Agst-1986,
SAJAK SUAT EMA
Ya, sengaja kutinggalkan engkau Karena aku punya hidup baru
Aku sesalkan diriku yang keras batu Tak minta Restumu
Aku tak pergi jauh
Aku disamping hatimu
Aku benci aku
Aku muak’kan diriku
Wajahmu selalu nyaksi disaat aku sendiri bersama angin dan suara malam
Bersama perutku yang kelaparan
Ya, jangan bertanya aku pulang
Tak jauh,
Aku disamping hatimu
(Jakarta, Nov-1987)
JALURKU
Aku sudah menyatu dengannya
Dari dulu-dulu
Sekarang baru terasa Betapa sakit duri menusuk
Betapa sakit kerikil terinjak
Aku berlari diatasnya Aku berdiri diatasnya Aku sakit diatasnya
Lewat itu semua kutuangkan segala endapan Kebencian
Kecintaan Penyesalan dan segala yang memuakkan
Aku berlari diatasnya
Aku berdiri diatasnya
Aku sakit diatasnya Dan yang tertinggal hanya kumpulan.
Jakarta, Nop-1987.
SAJAK MEDAN CINTAKU
Tek ada yang terbuang dengan yang dulu Cuma hati yang tak kutahu
Matamu redup dan merayu
Jalanmu awan lembut tersapu angin
(Hanya senyum yang memberturku
Sebentar tertawa bila kubuat kocak dihatinya)
“Oh…. Segara yang luas
Dayungku yang miskin
Sanggupkah aku kemuara
Medirikan kemah dipesisir,
(sementara dia hanya tertawa ditepian rumahnya)
Gadis banyak yang jatuh cinta Dari pesisir hingga pegunungan Dan aku dibuntut yang miskin Ijinkan aku singgah dihatimu
Tuhan mengapa aku miskin dan rapuh Tolonglah Gusti
Debar hatiku sebab dia
Getar lututku sebab dia
Tolonglah aku
Gadis, ketahuilah,
Bukan birahi, bukan padi, bukan jagung
Tapi cinta yang menjemput ku.
Jakarta, Des-1987.
BALADA ISTRI BAJINGAN
Binatang liar menggigit tubuhnya
langit merah dibarat laut Waktu dipukul dua
dalam langit merah Dia berkata : “Dia yang dulu bagai mentari Kini liar bagai serigala
Telah dia telan daging baru
Untuk hidup satu kerangkeng.
Aku yang kini bertiga, dua dari persemaiyannya Bagai sampah tak berguna
Telah busuk, telah tua, telah apek tiada guna
Telah ia renggut kehidupan lain
Dari hidup yang kumiliki
Telah ia pagut kesesatan-kesesatan
Yang kujauhi dari syahwat dan selera,
Tiada lenyap dari raganya.
Seorang telah ia topang bulan yang manja Dengan kedua tangannya
Aku tak berdaya
Aku dimakan kediaman
Didalam lengan kuat dan serapahnya yang angkuh
Aku harus menggeliat
Dan sebuah lengan kuat menamparku
Aku terkesiap dan tersedulah aku”.
Dia menggigit kedua bibirnya yang layu Langit tambah pekat, angin tiada mendayu,
Ketika ia geser duduknya,
Cepatlah keluar wahai mentari akan ku putus dan ku lenyapkan angan anganku
Jakarta Maret 1987