 |
Mohammad Choirul Anam komisioner pengkajian dan penelitian Komnas Ham |
Jakarta 3 September 2019
Proses pembahasan dan materi muatan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan proses penting untuk mendapat pencermatan oleh Komnas HAM. Komnas HAM mengkaji perumusan RKUHP agar tetap sesuai dengan prinsip dan asas-asas HAM untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM sebagai tanggung jawab negara. Atas pencermatan terhadap draf RKUHP tertanggal 28 Agustus 2019, Komnas HAM mengapresiasi beberapa rekomendasi dari mekanisme internasional yang diakomodasi dalam RKUHP, seperti diaturnya tindak pidana penyiksaan dengan unsur yang terkandung dalam Pasal 1 CAT, adanya definisi pemerkosaan dalam perkawinan, serta penggunaan gender neutral dalam pengaturan tindak pidana. Hal tersebut menunjukan adanya niat pemerintah untuk memposisikan RKUHP sebagai instrumen perlindungan HAM. Adapun selain hal tersebut ada beberapa isu-isu krusial yang perlu diperhatikan oleh Panitia Kerja dan Tim Perumus RKUHP, antara lain:
A. Terkait pengakuan hukum yang hidup di masyarakat, terdapat tiga pasal bermasalah yaitu Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 96, Pasal 97 dan Pasal 618. Berdasarkan asas Iegalitas, eksistensi keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak sesuai dengan lex scripta (ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan hukum kebiasaan), lex certa (rumusan ketentuan pidana harus jelas), dan lex stricta (ketentuan pidana harus ditafslrkan secara ketat dan larangan analogi). Dikhawatirkan apabila ketiga pasal bermasalah ini disahkan ke dalam KUHP, akan timbul pelanggaran HAM karena ketidakjelasan dalam kepastian hukum, dan membingungkan aparat penegak hukum dan masyarakat. Perlunya kejelasan hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk mencegah adanya polltik idenmas, dan ketidakjelasan pengaturan yang mengancam kepastian hukum.
B.Eksistensi pidana mati, yang masih diberl ruang dalam RKUHP dengan sifat khusus dan diancamkan secara alternatif yang sama sekall tldak memberikan perlindungan terhadap HAM. Sehingga semua tindak pidana blsa mendapat ancaman pidana mati karena diancamkan secara alternatif. Terkalt penghapusan pldana mati Komnas HAM, menegaskan perlunya dua lapis perllndungan HAM. Pertama, terkait perlindungan terhadap penjatuhan pidana dalam dakwaan maupun putusan, bahwa
frasa “dapat”dalam Pasal 100 ayat (1), (4) dan Pasal 101 membuka lebar
ketidakpastian hukum terkait pemberian masa percobaan. Kedua, penghapusan
pidana mati dengan percobaan memerlukan kejelasan proses dan menjangkau
terpidana mati yang dalam masa tunggu eksekusi. Hal dimaksud merupakan tahapan
yang memungkinkan dalam semangat penghapusan pidana mati, Komnas HAM
secara tegas menolak pidana mati sebagai hukuman.
C. Terkait tindak pidana terhadap agama, delik dalam Pasal 304 RKUHP mulai
mengarah pada rumusan yang lebih jelas, yakni perbuatan yang bersifat
permusuhan. Hal ini merupakan kemajuan dari absurditas frasa “penghinaan” dan
“penodaan”. Untuk itu perlu dilihat kembali maksud penggunaan frasa menyatakan
perasaan dan penodaan sebagai alternatif dan padanan dari “sifat permusuhan” perlu untuk ditimbang kembali.
D. Pasal 218 dan Pasal 219 RKUHP mengenai Penyerangan Kehormatan atau Harkat
dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden berpotensi melanggar hak kebebasan
berpendapat dan berkekspresi. Penjelasan terkait Pasal 263 RKUHP hanya
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah perbuatan apapun
yang dapat menyerang nama baik dan martabat Presiden atau Wakil Presiden di
muka umum. Tidak ada penjelasan yang mengakomodir pembedaan kategori dari
suatu tindakan yang dapat dikatakan menghina dan mengkritik. Penjelasan yang
tidak jelas tersebut akan berpotensi terhadap tidak adanya kepastian hukum serta
mengakibatkan tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum;
E. Terkait tindak pidana makar, Pasal 193 RKUHP mensyaratkan bahwa adanya upaya
penggulingan dan/atau pengambil-alihan sebagai unsur pidana yang harus dipenuhi.
Pasal ini berpotensi terhadap penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan
terlanggarnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Delik makar seharusnya
hanya terkait dengan tindakan yang bersifat menyerang. Tanpa adanya perbuatan
menyerang, perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana makar;
F. Pengaturan tindak pidana terkait kesusilaan dan tindak pidana terhadap tubuh
dalam RKUHP berpotensi memengaruhi hak atas integritas tubuh dan hak atas
privasi masyarakat dimana pasal-pasal di dalamnya dapat menimbulkan efek
kriminalisasi bagi korban dan kelompok rentan. Selanjutnya Pasal 421 ayat (1)
tentang pencabulan tidak memasukan ketentuan perbuatan cabul yang dilakukan di
ruang privat. Hal ini berpotensi melanggar hak atas rasa aman korban pencabulan.
Pada Pasal 421 ayat (1) huruf b dan ayat (2), terdapat permasalahan pada syarat
terjadinya percabulan yang ruang lingkupnya hanya dibatasi melalui kekerasan atau
ancaman kekerasan. Kenyataannya, banyak perbuatan yang dilakukan dengan cara
relasi kuasa, tipu daya, tipu muslihat atau sebagainya;
G. Terkait pengaturan mengenai eksistensi tindak pidana khusus dalam RKUHP, Komnas
HAM menilai harusnya tindak pidana khusus tersebut dipisah pengaturannya dalam
aturan khusus. Hal ini karena aturan tersebut memiliki asas-asas yang berlaku
khusus, yakni kekhususan tindakan-tindakan yang digolongkan dalam kejahatan luar
biasa. Dengan meletakkannya bersama dengan delik umum akan berimplikasi pada
banyaknya asas-asas tertentu yang sulit diberlakukan. Jika karakter khusus tersebut
tidak diberlakukan, maka akan melanggar hukum internasional dan memungkinkan
mekanisme instrumen hukum internasional dipergunakan dalam skema pidana
nasional.
Proses pembahasan RKUHP draf Agustus 2019 sudah mengakomodasi beberapa
perubahan yang signifikan dalam perlindungan HAM. Perubahan tersebut
mengkomodasi beberapa pemikiran yang mengawal pembahasan selama ini. Dalam
posisi ini, dengan waktu yang ada menuju pengesahan RKUHP sangat memungkinkan
untuk mengakomodasi beberapa catatan dan pemikiran perlindungan HAM yang belum
diakomodasi. Komnas HAM mendesak agar dilakukan kembali review terhadap draf
RKUHP tersebut dalam upaya menjaga, melindungi, dan menegakan HAM di Indonesia.
(Red)